ASAL MULA DESA CANGKRING

ASAL MULA DESA CANGKRING
Desa Cangkring ada bukan karena tiban atau karena sabda wali yang langsung jadi seperti keadaan sekarang ini, tetapi karena kerja keras / suatu usaha seorang Pengkoljati Desa Tlogomulyo (sebelah utara Desa Cangkring). Desa Cangkring dulu merupakan hutan belantara yang belum terjamah oleh tangan manusia, maka tergeraklah hati Mbah Sengari atau disebut juga Mbah Pungan. Dimulailah pekerjaan yang besar ini dari sebelah timur laut, sehingga mendapatkan satu perkampungan kecil yang sekarang bernama Dukuh Cangkring Wetan. Sejauh inilah usaha Mbah Sengari ini berhenti dan selanjutnya usaha ini diserahkan untuk dilanjutkan oleh adiknya perempuan yang bernama Raden Ayu Karsilah. Beliau tidak merubah atau menambah luas hasil karya kakaknya tetapi R.A. Karsilah mulai membuka agak ke sebelah barat yaitu membuat perkampungan yang terpisah dari Dukuh Cangkring Wetan tersebut. Setelah beberapa waktu beliau selesai membuka perkampungan baru yang nantinya akan dijadikan kampung yang paling utara, maka kampung ini disebut Kampung Kaloran. Dari Kaloran diteruskan ke selatan terus sampai perkampungan. Setelah selesai maka beristirahatlah R.A. Karsilah sambil mencari ilham untuk memberi nama daerah yang telah dibuka tersebut. Teringatlah R.A. Karsilah bahwa selama beliau membuka daerah tersebut banyak dijumpai pohon Cangkring (pohon yang banyak berduri tajam). Maka kampung tersebut diberi nama Desa Cangkring.
Sejak itu, Desa Cangkring mulai dihuni oleh orang-orang. Selesai itu R.A. Karsilah juga membuka kampung kecil yang jauh dan terpencil disebelah barat Desa Cangkring yang diberi nama kampung Ngemplik. Selama membuka daerah selatan, R.A. Karsilah sering beristirahat di tepi sungai, tepatnya di bawah pohon yang rindang. Waktu itu, ternyata sudah di buka terlebih dahulu oleh seseorang bernama Raden Bakat.
R.A. Karsilah sangat mengagumi R. Bakat yang menurut pandangannya dia sangat gagah dan tampan. Bahkan lama-kelamaan R.A. Karsilah merasa tertarik dan jatuh cinta. Setiap hari R.A. Karsilah duduk di bawah pohon tersebut untuk sekedar dapat melihat wajah R. Bakat dari kejauhan. Lama kelamaan R.A. Karsilah tidak dapat mengajukan lamaran ke R. Bakat dengan mas kawin (tanggungan) ½ desa sebelah selatan akan diserahkan kepada R. Bakat jika lamarannya diterima. R. Bakat juga mengetahui dan mengakui bahwa R.A. Karsilah juga cantik, tetapi di salah satu kakinya terdapat bekas luka (belang). Keadaan ini membuat R. Bakat menjadi tidak senang dan menolak lamaran dari R.A. Karsilah, sampai sekarang kampung tersebut disebut kampung Tanggungan. Setelah mengetahui lamarannya ditolak, maka sedihlah hatinya. Beliau menjadi putus asa, sekiranya tidak dapat lepas dari R. Bakat. Setiap hari R.A. Karsilah duduk di bawah pohon biasanya, yaitu pohon preh. Badannya makin lama makin kurus dan akhirnya pada suatu hari, diketahuilah R.A. Karsilah kedapatan meninggal di bawah pohon preh tersebut, dengan posisi berdiri bersandar pada batang pohon tersebut. Penduduk desa setelah mengetahui bahwa R.A. Karsilah meninggal dunia, terjadilah perebutan jenazah antara penduduk sebelah utara (Kaloran) dengan sebelah selatan (Tanggungan). Masing-masing bersitegang untuk menguasai jenazah dan dimakamkan di kampungnya. Namun akhirnya terjadi kesepakatan dimakamkan di kampung utara, karena kampung utaralah daerah yang pertama kali dibuka oleh R.A. Karsilah.

Makan tersebut oleh Desa Cangkring dinamakan Punden Nyai Putri (R.A. Karsilah) yang membuka atau membuat (yang bubak tiyoso) Desa Cangkring. Tidak berapa lama di sebelah timur punden tersebut tumbuhlah sebatang pohon randu alas yang makin lama makin besar dan tinggi. Sehingga untuk daerah disekitarnya tidak ada pohon yang menyamai tinggi dan besarnya pohon tersebut. Pohon tersebut sangat bermanfaat bagi masyarakat Desa Cangkring, karena dengan melihat pohon tersebut, masyarakat dapat mengetahui musim dengan tepat, antara lain : 
• Apabila pohon tersebut daun-daunnya rontok, berarti saat itu akan mulai musim kemarau, sehingga masyarakat mulai siap-siap akan menanam polowijo (semangka, waluh, krai, blewah, kacang, dll). Apabila pohon tersebut akan berbuah, maka berarti pertengahan musim kemarau.
• Apabila pohon tersebut daunnya mulai bersemi, berarti masyarakat harus siap-siap menabur benih (nyawur benih) padi, karena sebentar lagi akan segera datang musim penghujan. Saat itu pula berdatanglah burung-burung besar maupun kecil dari berbagai penjuru yang akan bersarang di pohon randu alas tersebut. Burung tersebut akan merasa aman dan dapat berkembang biak dengan leluasa tanpa ada yang mengganggu. Menurut kepercayaan orang penduduk Desa Cangkring, apabila makin banyak burung-burung yang datang dan bersarang di pohon tersebut berarti Desa Cangkring akan nanti akan dapat makmur, karena hasil pertanian yang melimpah ruah. Memang dulu Desa Cangkring adalah daerah yang subur dan masyarakatnya hidup berkecukupan.

Desa Cangkring mempunyai dua dukuhan, yaitu Dukung Ngemplik dan Dukuh Kaloran, namun ternyata kedua dukuh ini tidak dapat bertahan terus karena kedua dukuh tersebut terserang penyakit yang hebat (orang-orang menyebutnya era-eru). Sehingga banyak penduduknya yang mati. Merasa takut akan keadaan dan mempertahankan hidup, maka sisa penduduk Kaloran berduyun-duyun mengungsi dan selanjutnya menetap jadi satu dengan penduduk Desa Cangkring Krajan. Atas petunjuk dari orang-orang tua dalam usahanya mengusir era-eru tersebut, maka di setiap pertigaan dan perempatan jalan harus di sembelih seekor kambing yang mana keempat kaki dan satu kepalanya utuh harus ditanam di tengah pertigaan atau perempatan, sedangkan dagingnya dimasak di tempat dan untuk selamatan bersama dan dimakan bersama di tempat Punden Nyai Putri, yang kambingnya harus kambing kendit. Setelah diadakan upacara selamatan, ternyata penyakit era-eru tersebut, makin lama makin hilang, mulai saat itu upacara ini setiap tahun selalu dikerjakan dan merupakan suatu tradisi yang disebut nyadranan, biasanya pada tengah musim kemarau.
Sawah Desa Cangkring jaman dahulu merupakan rawa-rawa, yaitu di sebelah barat dan selatan Dukuh Ngemplik, sehingga pada musim penghujan tidak dapat ditanami padi. Menyadari akan keadaan ini, maka oleh pemerintah khusus Desa Cangkring diberikan petok gardu (surat keterangan izin gardu) pada musim kemarau, sedangkan pada musim penghujan padi sisa gardu tersebut dapat bersemi lagi dan dapat berbuah. Karena dalamnya air, maka apabila kaan menuai padi terpaksa dengan menaiki perahu atau rakit. Sedangkan sungai B15 yang sekarang lebar itu dulu hanya kecil seperti selokan saja.
Pada tahun 1974, suatu sore pohon randu alas yang tumbuh di sebelah timur Punden Nyai Putri kedapatan roboh disertai dengan hujan yang lebat dan badai (angin) yang dahsyat. Burung-burung berterbangan. Dan bagi masyarakat Desa Cangkring keadaan ini mempunyai firasat yang beranekaragam, karena setelah itu kehidupan masyarakat Desa Cangkring menjadi berantakan, rakyat banyak yang hidup serba sulit, tanaman padi diserang wereng, sehingga orang-orang Desa Cangkring banyak yang pergi boro, kemanapun asal mendapatkan hasil untuk menyambung hidup.

Subscribe to receive free email updates:

1 Response to "ASAL MULA DESA CANGKRING"