KEN AROK - EMPU GANDRING-10.

KEN AROK - EMPU GANDRING-10.
"Ha-ha-ha, sudah setua ini aku harus berlagak? Akan tetapi baiklah. Nah, kau lihat baik-baik pohon di
depan itu." Pendeta itu lalu menghampiri sebatang pohon yang besarnya sebadan orang dewasa. Dia
berhenti dalam jarak dua meter dari pohon itu,kemudian dia pun memasang kuda-kuda jurus
Nogopasung. Tubuh yang kurus tua itu nampak kokoh dan mantap sekali ketika dia memasang
kuda-kuda yang khas itu. Kaki kirinya di depan, lutut ditekuk, kaki kanan terjulur ke belakang dengan
lurus dan hanya ujung jari kaki kanannya saja yang menyentuh tanah, jari-jari lainnya terangkat, tangan
kiri melintang di depan dada dengan jari-jari terbuka membentuk cakar naga, tangan kanan terlentang
menempel pinggang dengan jari-jari membentuk cakar naga pula, muka menghadap ke depan, mata
mencorong dan mulut terbuka. Inilah kuda-kuda Nogopasung yang telah dilatih selama berbulan-bulan
oleh Joko Handoko. Ketika melihat kakeknya memasang kuda-kuda, Joko Handoko memandang
dengan mata yang tidak pernah berkedip, penuh perhatian dan dia pun dapat melihat bahwa pengaturan
pernapasan dari hidung dan mulut setengah terbuka itulah yang belum dikuasainya dengan benar? Seperti
pernah diajarkan oleh kakeknya, untuk menghimpun tenaga dalam jurus ini dia harus menghirup hawa
dari hidungnya sebanyak tiga kali, dan mengeluarkannya dengan halus melalui mulut tiga kali. Melihat cara
kakeknya bernapas, dan kini dia tahu bahwa dia telah membuang napas melalui mulut terlampau banyak.
Kiranya tenaga yang terkumpul oleh isapan napas itu menghimpun hawa murni dalam tubuhnya yang siap
dipergunakan untuk digerakkan dalam pukulan jurus Nogopasung.
"Heeiiikkkkk......!" Terdengar kakek itu mengeluarkan bentakan dan tubuhnya menerjang ke depan,
kedua lengannya yang membentuk cakar naga itu bergerak-gerak dengan cepat. Terdengar bunyi desir
angin keluar dari kedua telapak tangannya, menyambar ke arah pohon di depan.
"Krakkk.... bruuuukkkk....!" Pohon itu pun tumbang, pecah dan patah di tengah-tengah batangnya!
Joko Handoko memandang kagum dan kakek itu sudah berdiri tegak dan memejamkan kedua mata,
mengatur pernapasannya. Dia sudah terlalu tua untuk mengeluarkan tenaga yang sedemikian besarnya.
"Hebat sekali, Eyang," kata Joko Handoko setelah kakeknya membuka mata kembali.
Kakek itu tersenyum lebar. "Kalau sudah menguasai jurus ini benar-benar, karena engkau masih muda
dan tenagamu lebih besar, maka akibatnya akan lebih hebat lagi. Hanya, engkau tentu tahu bahwa jurus
ini hanya merupakan jurus terakhir untyk membela diri saja dan jangan sekali-kali kau pergunakan kalau
kau tidak terpaksa untuk menyelamatkan diri. Jurus ini kuciptakan bukan untuk membunuh orang,
Cucuku."
"Saya mengerti, Eyang."
"Sekarang ambil keris pusaka Nogopasung."
Pemuda itu lalu berlari memasuki pondok dan ketika dia keluar kembali, dia telah membawa keris yang
tersembunyi dalam sarung keris pusaka sederhana. Keris itu panjang dan ketika Panembahan Pronosidi
mencabutnya, keris lekuklimabelas itu mengeluarkan sinar menyeramkan. Di ujungnya masih terdapat
noda hitam, bekas darah Ginantoko dan Galuhsari! Bergidik juga Joko Handoko melihat keris pusaka
yang tidak pernah dihunusnya itu karena ia tahu bahwa darah di ujung keris itu adalah darah ayah
kandungnya!
"Kalau engkau menggunakan keris ini untuk memainkan jurus Nogopasung akibatnya akan lebih hebat
bagi lawan. Nah, sudah kepalang tanggung aku memberi petunjuk. Kau lihat aku memainkan keris ini."
Bukan main gembiranya hati Joko Handoko. Dia melihat kakeknya memasang kuda-kuda seperti tadi,
hanya bedanya, kalau tadi tangan kanan membentuk cakar naga, kini tangan itu memegang keris
Nogopasung yang terhunus, keris itu menuding ke depan lurus, sejurus dengan lengan kanan. Mulailah
kakek itu bersilat dengan keris, gerakannya lambatdan mantap, akan tetapi ketika dia menutup gerakan
jurus itu, dia mengeluarkan bentakan dan keris Nogopasung itu menciptakan gulungan sinar yang amat
menyilaukan mata. Sinar itu menerjang ke depan.
"Trakkk....!" Terdengar suara nyaring disusul bunga api berpijar menyilaukan mata dan ketika kakek itu
menarik kembali tubuh dan kerisnya, tenyata sebongkah batu besar telah pecah berantakan terkena
tusukan keris di tangan kakek itu!
"Bukan main.....!" Joko Handoko memuji dan mulai saat itu, dia pun berlatih semakin tekun dan giat
sekali. Sampai setahun lamanya dia berlatih siang dan malam di bawah pengawasan yang keras dari
kakeknya dan akhirnya pemuda ini dapat menguasai jurus Nogopasung dengan baik sekali dan ketika
Panembahan Pronosidhi mengujinya, maka hasil yang diperoleh pemuda itu masih lebih hebat dari pada
yang pernah diperlihatkan sang panembahan sendiri!
Sementara itu, Dyah Kanti telah resmi menjadi isteri Raden Pringgojoyo dan diboyong ke Wonoselo.
Perayaan pernikahan dilakukan secara sederhana sekali, karena bagaimana pun juga, Dya Kanti hanya
menjadi selir ke tiga dari Raden Pringgojoyo! Pada jaman itu, menjadi selir ke tiga dari seorang
bangsawan seperti Raden Pringgojoyo merupakan suatu hal yang sama sekali tidak mendatangkan rasa
malu, bahkan sebaliknya, seorang wanita akan menjadi bangga karena ia merasa derajatnya terangkat
setelah menjadi selir seorang bangsawan! Dan bagi Dyah Kanti, bukan derajat ini yang dipentingkan
benar, melainkan karena ia telah jatuh cinta kepada pria yang gagah dan manis budi itu.
Raden Pringgojoyo dengan ramah mengajak Joko Handoko untuk ikut dengan ibunya, pindah ke
Wonoselo. Juga Dyah Kanti membujuk puteranya, akan tetapi, Joko Handoko menolak dengan halus.
"Eyang panembahan sudah berusia lanjut dan tidak ada yang menemaninya kecuali beberapa orang
cantrik. Saya tidak tega untuk meninggalkannya. Biarlah saya menemani eyang di sini sambil
memperdalam ilmu saya." Demikian ia berkata dengan halus dan ibunya, juga ayah tirinya, tidak
mendesaknya lebih jauh.
Demikianlah, semenjak ibunya pergi meninggalkan padepokan di lereng Gunung Anjasmoro, Joko
Handoko semakin tekun mempelajari ilmu silat sampai ahirnya dia berhasil menguasai jurus Nogopasung.
Jurus Ini hanya dia seorang saja yang mempelajarinya dari kakeknya.Paracantrik dan para murid,
anggota aliran Hati Putih tidak ada yang mempelajarinya.
Aliran silat Hati Putih ini didirikan oleh Panembahan Pronosidhi semenjak tiga puluh tahun yang lalu.
Banyak sudah murid-murid atau cantrik-cantrik yang menjadi anggota aliran ini, dan menguasai ilmu
pencak silat Nogokredo yang menjadi inti dari ilmu aliran Hati Putih. Kini murid-murid itu banyak yang
sudah meninggalkan lereng Gunung Anjasmoro dan menjalani kehidupan masing-masing.Adayang
menjadi guru silat, menjadi buruh, petani atau ada pula yang menjadi perajurit-perajurit di
kadipaten-kadipaten. Mereka semua selalu menjunjung tinggi nama aliran Hati Putih, sesuai dengan
namanya, tidak mempergunakan ilmu itu untuk melakukan kejahatan, sebaliknya mereka mempergunakan
untuk menentang kejahatan.
Kertika Dyah Kanthi meninggalkan padepokan, yang masih berada di lereng Gunung Anjasmoro
menjadi cantrik hanya adalimaorang saja. Mereka itu rata-rata berusia tiga puluh tahun dan sudah
memiliki ilmu silat tinggi. Mereka tidak meninggalkan Sang Panembahan karena mereka berlima itu
memperdalam ilmu kebatinan dan mereka sudah mengambil keputusan untuk menjaga dan membantu
Sang Panembahan yang sudah berusia lanjut sampai kakek itu meninggal dunia. Mereka berlima inilah
yang melakukan pekerjaan sehari-hari, bertani dan membersihkan padepokan, mempersiapkan segala
keperluan dan kebutuhan Sang Panembahan yang menjadi guru mereka.
***
Untung tak dapat diraih,malang tak dapat ditolak, demikian bunyi pepatah. Untung atau malang ini hanya
merupakan pendapat hasil penilaian saja akan hal-hal yang sudah terjadi. Sebenarnya, yang terjadi pun
terjadilah dan yang terjadi itu adalah sesuatu kenyataan, sesuatu kewajaran yang tidak mengandung
malang atau mujur, untung atau rugi. Segala macam peristiwa itu terjadi sebagai akibat dari sesuatu
sebab, dan akibat ini pun dapat menjadi sebab baru untuk akibat berikutnya. Maka terjadilah lingkaran
setan atau rantai yang tak pernah putus dari sebab dan akibat, yang dikenal dengan hukum karma. Putus
atau tidaknya rantai sebab akibat ini hanya tergantung kepada kita sendiri, karena jalinan rantai itu melalui
telapak tangan kita sendiri. Kalau kita habiskan sampai saat itu saja, maka habis dan putuslah.
Sebaliknya kalau kita mendendam dan membalas, rantai itu akan bersambung terus. Kalau kita
menghadapi segala peristiwa yang terjadi seperti apa adanya, sebagai kenyataan, tanpa penilaian baik
buruk dan untung rugi, maka peristiwa itu pun tidak akan bersambung.
Kalau terjadi suatu peristiwa menimpa diri kita yang kita anggap merugikan, maka kita sukar untuk
dapat menerimanya. Kita menganggap diri kita cukup baik sehingga tidak layak untuk menderita! Hal ini
timbul karena kita selalu mengajar senang dan selalu melarikan diri dari susah! Kalau kita menghadapi
segala sesuatu dengan kenyataan yang wajar, maka tidak ada lagi penilaian dan karenanya tidak ada lagi
derita. Jangan dikira bahwa orang yang dianggap baik akan terhindar daripada bencana! Sakit dan mati
adalah bagian dari hidup, juga bencana mengintai di mana-mana tanpa menilai baik buruknya orang.
Hidup ini sendiri sudah berarti menempatkan diri dalam intaian bahaya setiap saat.
Joko Handoko keluar dari dalam hutan, memanggul seekor kijang yang sudah mati. Dia merobohkan
kijang itu dengan lemparan batu yang tepat mengenai kepalanya. Dengan hati gembira dia membawa
pulang kijang yang muda dan gemuk itu dan mulutnya sudah menjadi basah ketika dia membayangkan
betapa akan sedap dan gurihnya dia dan para Cantrik nanti menikmati daging kijang yang dipanggang
atau dimasak. Sayang, kakeknya sudah selama puluhan tahun tidak suka makan daging binatang, dan
hanya makan sayuran saja.
Pemuda ini sama sekali tidak tahu bahwa pada saat itu, di padepokan terjadi hal-hal yang amat
mengerikan. Sejak tadi pagi dia sudah meninggalkan padepokan yang tadi nampak sunyi dan tenteram.
Eyangnya sudah bangun dan seperti biasa, setelah mencuci badan, eyang sudah duduk bersamadhi di luar
pondok. Lima orang kakek seperguruannya, yaitu para cantrik, sudah sibuk dengan pekerjaan
masing-masing. Ada yang mengisi kolam air, ada yang menyapu pekarangan, membersihkan rumah,
masak air dan sebagainya. Mereka semua sudah biasa bagun pagi-pagi sekali, suatu kebiasaan yang
amat baik bagi kesehatan lahir dan batin.
Mula-mula para cantrik yang sedang menyapu pekarangan yang melihat kedatangan lima orang asing itu.
Dua orang canrik yang bekerja di pekarangan dan serambi depan, menghentikan pekerjaan mereka
ketika lima orang itu memasuki pekarangan dengan langkah lebar. Mereka berdua memandang penuh
perhatian. Yang muncul adalah dua orang kakek berusia sekitar enam puluh tahun dan tiga orang berusia
sekitar empat puluh tahun. Mereka itu bertubuh tinggi besar dan nampak kuat, dengan pakaian serba
hitam yang ringkas. Karena ia merupakan orang-orang yang tak dikenal, dan melihat sikap mereka yang
tegas ketika memasuki pekarangan, tanda bahwa mereka itu sengaja datang dengan maksud tertentu,
dua orang itu pun cepat menyambut.
"Kisanak, apakah di sini padepokan aliran Hati Putih?" Seorang di antara mereka, yaitu kakek yang
kepalanya botak dan tidak tertutup kain kepala seperti teman-temannya, bertanya. Suaranya kasar dan
matanya yang besar itu melotot tanda bahwa dia sedang marah.
Seorang di antara dua cantrik itu mengangguk. "Benar sekali. Siapakah Andika berlima dan dari mana,
ada keperluan apakah?"
Akan tetapi si botak itu tidak memperdulikan pertanyaan orang, melainkan memandang dengan muka
beringas dan dia pun melangkah maju mendekati cantrik yang menjawab itu.
"Dan kamu ini seorang cantrik, murid aliran Hati Putih?"
Sang cantrik tidak menduga buruk walaupun dia merasa heran mengapa orang-orang ini kelihatan seperti
orang-orang yang sedang marah. Dia mengangguk. "Benar, dan....."
"Kalau begitu mampuslah!" bentak si botak dan secepat kilat sudah menyerang dengan tangan kiri yang
terbuka. Pukulan itu mengarah ke dada. Akan tetapi sang cantrik yang kurus kecil ini adalah murid
Panembahan Pronosidhi yang sudah belasan tahun melatih diri dengan ilmu-ilmu pencak silat dari aliran
Hati Putih. Dia bukan orang sembarangan dan melihat datangnya pukulan yang demikian berbahaya, dia
pun melempar tubuh ke belakang. Dia selamat, akan tetapi angin pukulan itu masih terasa olehnya, panas
dan kuat sekali, membuat dia terhuyung dan terkejut bukan main.
"Eh,eh tahan dulu.....!" cantrik ke dua yang bertubuh gemuk cepat melangkah maju melerai. "Kalau ada
urusan, dapat kita bicarakan dulu."
"Kau pun harus mampus!" bentak kakek ke dua yang cepat maju menyerang dengan pukulan tangan
kosong yang terbuka jari-jarinya, menampar ke arah kepala.
Cantrik itu menagkis dengan cepat dari samping.
"Duukk.....!" dua lengan bertemu dan akibatnya, tubuh cantrik itu terlempar dan terbanting keras.
Cantrik itu, yang juga memiliki kepandaian yang cukup kuat, terkejut bukan main. Tangkisannya tadi
telah dilakukan dengan pengerahan tenaga sakti, namun tetap saja dia terlempar dan lengan yang beradu
dengan lengan lawan tadi terasa ngilu dan panas seperti bertemu dengan besi panas saja! Maklumlah dia
bahwa dia menghadapi lawan-lawan tangguh, maka tanpa banyak cakap lagi dia meloncat berdiri dan lari
memasuki pondok untuk memberitahukan kawan-kawannya. Akan tetapi, cantrik pertama yang kurus
kecil merasa penasaran dengan jurus-jurus pilihan Ilmu Silat Nogokredo.
"Huh, orang-orang Hati Putih ternyata berhati busuk!" bentak kakek botak yang cepat menangkis sambil
mengeluarkan tenaga saktinya. Kembali pertemuan dua lengan itu membuat sang cantrik terpental dan
terhuyung. Sebelum dia sempat mengatur keseimbangan tubuhnya, seorang di antara tamu-tamu tak
diundang itu yang berada dekat dengannya, sudah memapaki tubuhnya dengan tamparan keras yang
mengenai punggungnya.
“Buk....!” Cantrik kurus kecil itu mengeluh, lalu muntah darah dan tubuhnya terjungkal roboh dan tidak
dapat bangkit lagi.
Empat orang cantrik yang berlarian keluar terkejut sekali, juga marah melihat betapa saudara mereka
telah roboh dan agaknya telah tewas melihat muka yang pucat dan mata yang terbelalak, mulut
berlepotan darah itu.

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "KEN AROK - EMPU GANDRING-10."

Posting Komentar