KEN AROK - EMPU GANDRING-8
Kakek itu menarik napas panjang. "Tidak keliru, Joko Handoko. Eyangmu Empu Gandring adalah seorang empu yang sukar dicari tandingannya di jagat raya ini dalam keahliannya membuat keris pusaka.
Karena aku sendiri merasa tidak ada se-kuku hitamnya dibandingkan dengan dia dalam hal pembuatan keris, maka aku mencoba untuk mengimbangi keampuhan keris yang telah diberikan kepada ibumu untuk kelak menjadi milikmu itu dengan sebuah jurus yang kuberi nama Nogopasung."
Tentu saja Joko Hamdoko merasa gembira bukan main.
"Wah, pantas sekali begitu sukar kiranya menguasai jurus ini. Eyang. Kiranya Eyang sengaja membuatkan untuk saya."
"Selama hampir setahun aku mutih (makan nasi dan air putih saja), baru berhasil. Dan engkau pun baru berlatih selama tiga bulan. Sedikitnya setahun baru engkau akan mampu menguasai jurus ini. Itupun harus kau lakukan dengan jalan mutih dan juga berpuasa sepekan sekali."
"Hal itu sudah kutaati dan saya lakukan sejak mempelajarinya, Eyang. Akan tetapi hasilnya ternyata menurut Eyang masih kurang memuaskan."
"Jurus itu dapat dimainkan dengan tangan kosong sebagai pengganti keris, juga tentu saja amat tepat kalau dimainkan dengan menggunakan keris, terutama keris Kyai Nogopasung sendiri. Belajarlah dengan giat, latihlah jurus itu dengan tekun dan perkuat batinmu. Perbanyak samadhi menghimpun tenaga batinmu, kurangi makan dan tidur."
"Baik, Eyang, akan saya taati perintah Eyang. Akan tetapi Eyang, kalau boleh saya memohon....."
Kakek itu memandangnya dengan tersenyum. "Apakah yang kau inginkan, Cucuku?"
"Saya masih penasaran karena selama tiga bulan ini saya sudah berlatih dengan sekuat tenaga. Kalau sampai sekarang masih belum baik hasilnya, lalu sampai yang bagaimanakah baiknya, Eyang. Sudilah Eyang memperlihatkan kepada saya jurus itu sampai pada puncak kesempurnaannya?"
"Heh-heh-heh, orang muda selalu memang ingin tahu. Akan tetapi memang demikianlah seharusnya.Kalau orang muda tidak memiliki keinginan tahu yang besar untuk mengerti segala hal di dunia ini, maka hidupnya seperti mandeg dan dia seperti sudah mati sebelum hayat meninggalkan badan. Hanya, kau nakal sekali, aku yang sudah setua ini masih disuruh menjual lagak! Ha-ha-ha!"
"Tapi, Eyang. Yang melihat hanya saya sendiri, tidak ada orang lain lagi, mana bisa dibilang menjual lagak?"
"Nah, nah, di sini letak kekuranganmu, cucuku. Jangan terlalu membiarkan dirimu terseret oleh suat arus yang menyita seluruh kewaspadaanmu sehingga engkau tidak melihat datangnya dua orang menuju ke sini." Kakek itu memandang arah kiri dan Joko Handoko juga memandang.
"Ibuuuu.......!" serunya, akan tetapi seruan yang disertai wajah gembira itu tiba-tiba saja ditahannya ketika dia melihat bahwa ibunya tidak datang sendirian, melainkan bersama seorang laki-laki berusia kurang lebih empat puluh tahun, seorang pria yang dalam usia setengah tua itu masih nampak gagah dan tampan, dengan pakaian sebagai seorang priyayi, dengan sikap yang ramah dan senyumnya selalu menghias wajahnya yang tampan.
"Ah, Raden Pringgoloyo, sudah lamakah Raden mengunjungi padepokan kami yang sederhana ini?
Baik-baik sajakah keadaan Raden?"
Pria yang bernama Raden Pringgoloyo itu tersenyum, melirik ke arah Dyah Kanti lalu menoleh kepada Joko Handoko yang masih berdiri dengan kepala menunduk.
"Terima kasih Paman, dengan berkah dan doa restu paman panembahan, saya berada dalam keadaan selamat dan semoga paman sudi menerima sembah bakti saya. Paman selalu menyebut padepokan ini sederhana, buruk dan sebagainya, padahal yang saya kunjungi bukanlah padepokannya, melainkan orangnya,Paman. Saya baru saja tiba dankebetulan bertemu Diajeng Kanti di luar pintu padepokan." Lalu dia menoleh kepada Joko Handoko.
"Wah, keringatmu masih membasahi tubuh. Agaknya engkau baru saja berlatih. Sudah memperoleh kemajuan pesat, anakku Handoko?"
Makin sebal rasa hati Handoko mendengar sebutan "anak", mengingatkan bahwa orang ini akan menjadi ayah tirinya. Ibunya sudah mengambil keputusannya untuk menerima pinangan Raden Pringgoloyo ini,menjadi istri ke dua, dan kakeknya juga sudah menyetujuinya! Akan tetapi dia sendiri, yang tidak pernah
ditanya pendapatnya, diam-diam merasa iri dan tidak senang. Bagaimana ibunya, seorang yang begitu lama menjanda, kini tiba-tiba saja ingin kawin lagi, dan menjadi istri ke dua?
Akan tetapi karena ditanya, dan karena dia sejak muda sekali sudah diajar sopan santun oleh eyangnya,lalu menjawab, "Lumayan saja, Paman."
"Tidak seperti biasanya, Raden berkunjung begini pagi, biasanya di waktu senja. Apakah hanya akan anjang sono ataukah ada keperluan lain, Raden?" tanya Panembahan Pronosidhi dengan suaranya yang selalu halus dan sabar.
"Pertama untuk beranjang sono, dan kedua kalinya juga ada keperluan, paman panembahan. Saya datang untuk memohon persetujuan paman agar diperkenankan mangajak diajeng Dyah Kanti kekadipaten hari ini karena saya akan memeperkenalkan kepada keluarga saya, sebelum pernikahan dilangsungkan dengan resmi."
Wajah kakek itu nampak berseri. "Ah, suatu tindakan yang bijaksana sekali,raden. Akan tetapi perjalanan dari sini ke kadipaten bukan dekat."
"Kami mau naik kuda, Ayah," kata Dyah Kanti cepat. Ia adalah seorang keturunan pendekar sakti,biarpun wanita, ia memiliki kesaktian dan juga kesigapan. Menunggang kuda bukan merupakan hal yang sukar atau asing baginya.
"Jadi kau telah membawa dua ekor kuda, Raden? Baiklah, hati-hati di jalan dan jangan terlalu malam pulangnya nanti."
Dyah Kanti lalu menghampiri Joko Handoko dan mengelus kepala anaknya.
"Handoko, ibu mau pergi dulu ke kadipaten. Engkau minta dibawakan oleh-oleh apakah, anakku?"
"Kalau ibu hendak pergi, pergilah saja, aku tidak ingin dibawakan apa-apa Ibu. Terima kasih," kata Joko Handoko dan dia pun mulai bersilat lagi untuk latihan tanpa memperdulikan ibunya dan calon ayahnya itu.
Ibunya saling pandang dengan calon suaminya, lalu tersenyum masam dan berpamit dari ayahnya. Tak lama kemudian terdengar derap kaki dua ekor kuda yang membalap keluar dari padepokan, menuruniLereng Gunung Anjasmoro menuju Kadipaten Wonoselo, di mana Raden Pringgoloyo adalah keponakan
dari adipati di Wonoselo.
Setelah derap kaki kuda itu tidak terdengar lagi, barulah Panembahan
Pronosidhi menegur cucunya.
"Joko Handoko, hentikan latihanmu. Eyang mau bicara denganmu sebentar."
Pemuda itu menghentikan silatnya dan duduk bersimpuh di atas rumput, di depan batu hitam. "Ada perintah apakah, Eyang?"
"Aku ingin bicara denganmu tentang ibumu, Cucuku!"
Bersambung KEN AROK - EMPU GANDRING-9
0 Response to "KEN AROK - EMPU GANDRING-8"
Posting Komentar