KEN AROK - EMPU GANDRING-9
Wajah yang biasanya ceria dan penuh senyum itu kini menjadi muram. "Apa lagi yang hendak dibicarakan, Eyang? Ibu akan menikah lagi dengan Raden Pringgoloyo keponakan Sang Adipati di Wonoselo, dan Eyang sudah memberi restu. Mau apa lagi?"
Sungguh pahit sekali nada yang terkandung di dalam ucapan sederhana itu dan sang panembahan menarik napas panjang, akan tetapi tetap tesenyum.
"Joko, baru saja aku melihat sikapmu tadi yang tak ramah terhadap ibumu dan terhadap Raden Pringgojoyo, hal itu menujukkan bahwa engkau pada hakekatnya tidak setuju kalau ibumu menikah dengan dia. Bukankah demikian, Cucuku?"
"Ampun, Eyang. Saya hanya anak-anak tidak tahu apa-apa. Akan tetapi sesungguhnya, saya kira tidak patut kalau ibu menikah, baik dengan Raden Pringgoloyo maupun dengan pria manapun juga!" Suaranya
berapi-api, tanda bahwa ucapan itu merupakan pendaman perasaan di dalam hatinya yang selama ini
ditekan-teannya.
Kakek itu mengengguk-angguk, maklum apa yang terpendam di dalam hati cucunya. "Cucuku, kenapa
engkau berpendapat demikian?"
"Tentu saja, Eyang! Sejak saya dalam kandungan ayah kandung saya telah emninggal duni dan
bagaimana dia meninggal dunia, masih belum saya ketahui sebabnya karena agaknya ibu maupun eyang
masih merahasiakannya. Tak mungkin ayah mati begitu muda tanpa sebab. Dan sekarang, setelah ibu
menjadi janda selama delapan belas tahun, tiba-tiba saja ibu hendak kawin lagi, menjadi selir! Bukankah
hal itu amat memalukan?"
"Memalukan? Malu kepada siapa, Cucuku?"
"Malu kepada orang-orang tentu saja, Eyang."
"Ee, Lhadalah! Mengapa begini aneh pendapatmu, cucuku? Urusan kawin adalah urusan pribadi antara
dua orang, kenapa harus ada rasa malu kepada orang lain? Apakah kehidupan kita, termasuk
pernikahan, harus diatur oleh orang-orang lain? Siapa yang berhak mengatur dan menentukan?"
"Memang, merupakan urusan pribadi dan diri sendiri yang mengatur dan menentukan. Akan tetapi ada
pendapat umum bahwa janda yang sudah tua, tidak patut kawin lagi. Dan andaikata tidak malu kepada
orang lain, setidaknya juga malu kepada diri sendiri!"
"Wah-wah-wah, lebih aneh lagi ini, cucuku. Orang harus malu kepada diri sendiri kalau dia melakukan
sesuatu yang tidak baik, kalau dia melakukan seuatu yang jahat dan jahat ini berarti merugikan orang lain,
bagaimana ia harus malu terhadap diri sendiri?"
"Ampun, Eyang, bukan saya ingin berbantah-bantahan dengan Eyang atau tidak mentaati petunjuk
Eyang. Akan tetapi, setidaknya ibu harus merasa bahwa sayalah orang yang dirugikan kalau ibu menikah
lagi!"
"Aha! Begitukah? Ah, jadi itukah gerangan yang membuat engkau tidak senang hati, dan menggangap
ibumu melakukan sesuatu yang salah, yang jahat karena merugikan dirimu? Sekarang jelaskan, kerugian
apakah yang kau derita dengan kawinnya ibumu dengan Raden Pringgojoyo, cucuku" Suara Panembahan
itu masih penuh dengan kehalusan sehingga cucunya tidak merasa dimarahi dan tidak menjadi gugup atau
takut.
"Tentu saja saya rugi karena menjadi anak tiri!"
"Bukankah malah menguntungkan karena engaku mendadak saja, engkau yang sudah tidak mempunyai
seorang ayah, tiba-tiba kini mempunyai seorang ayah, walaupun ayah tiri?"
"Ayah tiri mana bisa menggantika ayah kandung , Eyang? Ayah tiri, mana ada yang baik?"
"Calon Ayah tirimu itu, Raden Pringgoloyo, adalah seorang yang baik, cucuku. Kalau aku tidak yakin
akan kebaikannya, mana mungkin aku merestui rencana perkawinan mereka? Dia pernah menjadi
muridku ketika masih muda, aku tahu wataknya. Dan ingatlah, ayah kandung sendiri belum tentu baik,
Cucuku!"
Pendeta itu termangu, teringat akan keadaan mantunya, Ginantoko, seorang yang biarpun tadinya amat
baik, kemudian menjadi seorang mata keranjang yang mendatangkan banyak permusuhan dan bencana.
"Maksud Eyang....... apakah mendiang ayah kandung saya tidak baik?"
Kakek itu sudah terlanjur bicara dan memang kini dianggap sudah saatnya untuk memperkenalkan
cucunya kepada mendiang ayahnya, karena Joko Handoko sudah berusia delapan belas tahun, sudah
cukup dewasa. Maka dengan suara tenang, dengan halus dan sabar, kakek itu bercerita tentang
petualangan Ginantoko sampai kemudian dia meninggal di tangan musuhnya.
Sejak tadi Joko Handoko mendengarkan dengan wajah yang tidak berubah. Memang pemuda itu sudah
menerima gemblengan yang hebat dari eyangnya sehingga apa yang terasa di hatinya tidak samapi
mengguncang batin dan tidak nampak pada wajahnya. Setelah eyangnya selesai bercerita, barulah dia
berkata, "Jadi, pembunuh mendiang ayah kandung saya adalah Ki Bragolo, ketua Sabuk Tembaga dari
lembah Gunung Kawi, Eyang?"
"Benar, akan tetapi dia tidak mampu menewaskan ayahmu kalau saja dia tidak mempergunakan keris
pusaka yang dipinjamnya dari eyangmu Empu Gandring, yaitu keris pusaka Nogopasung....."
"Apa....!!" Kini pemuda itu terkejut akan tetapi segera dapat menguasai hatinya. "
Jadi keris pusaka peninggalan ayah itu.... keris itu malah yang telah membunuh ayahku?"
"Dengarlah baik-baik, cucuku. Mendiang ayahmu, Ginantoko, telah menjadi hamba nafsunya sendiri. Dia
mengejar-ngejar wanita, bahkan tidak segan-segan mempermainkan wanita yang sudah menjadi bini
orang. Dia merayu dan menjinai isteri Ki Bragolo, dan itulah sebabnya maka terjadi permusuhan sehingga
ayahmu tewas di ujung keris Nogopasung. Akan tetapi bersama dengan darah ayahmu, keris itu pun
ternoda darah Galuhsari..... sehingga percampuran darah pria dan wanita itu tidak dapat lenyap dan tetap
menodai keris pusaka itu."
"Galuhsari.....?"
"Yaa, isteri Ki Bragolo sendiri."
"Ahh.......!" kini Joko Handoko termangu-mangu, kehilangan akal. Ayahnya memang bersalah dan
agaknya banyak hal yang perlu dibuat penasaran kalau Ki Bargolo membunuh ayahnya, bahkan orang itu
telah kehilangan isterinya pula. Akan tetapi yang membuat dia penasaran, kenapa justeru keris
Nogopasung itu yang membunuh ayahnya? Bukankah keris itu ciptaan Empu Gandring, dan bukankah
ayah kandungnya itu keponakan dan murid Empu Gandring sendiri?
"Eyang, apakah eyang Empu Gandring demikian marah kepada mendiang ayahku sehingga beliau
menyerahkan keris pusaka itu kepada Ki Bragolo agar ayah dapat dibunuhnya?"
"Hushh......! Jangan bicara yang bukan-bukan, cucuku! Eyangmu Empu Gandring adalah seorang sakti
mandraguna dan arif bijaksana. Semua itu sudah dikehendaki Hyang Maha Wisesa, tidak ada dosa tak
terhukum dan segala hal yang kebetulan itu hanya nampaknya saja kebetulan, akan tetapi sesungguhnya
sudah ada yang mengaturnya. Karena itu, semua ini kuceritakan kepadamu agar engkau mengerti
duduknya perkara. Kalau tidak, dan engkau mendendam kepada Ki Bragolo yang membunuh ayahmu,
hal itu berarti engkau hendak membela yang bersalah, cucuku. Dan kini engkau tentu maklum betapa
lama ibumu menderita. Ibumu telah menahan derita selama belasan tahun. Biarpun banyak sekali pria
yang datang meminang, ibumu selalu menolak karena mengingat bahwa engkau masih kecil. Ibumu tidak
ingin menyerahkan pendidikanmu ke dalam tangan ayah tiri. Akan tetapi, sekarang engkau telah dewasa
dan ibumu hanya seorang manusia biasa saja, yang membutuhkan kasih sayang seorang pria. Apakah
engkau kini tega hati untuk mencegah ibumu menikmati hidupnya setelah belasan tahun merana?"
Joko Handoko menundukkan mukanya. Setelah mendengar cerita eyangnya, pandangannya tentu saja
berubah. Dia merasa terharu sekali dan dapat membayangkan betapa berat beban batin ibunya karena
perbuatan ayah kandungnya yang memalukan itu sehingga mengakibatkan ayah kandungnya tewas.
"Setelah mendengar semua cerita eyang, saya tidak berani apa-apa lagi, eyang. Memang itu telah cukup
lama menderita dan kalau sekiranya sekarang, dengan menjadi isteri paman Pringgojoyo, ibu menemukan
kebahagiaan, saya tidak akan berani menghalanginya."
Kakek itu tersenyum, mengangguk-angguk dan mengelus jenggotnya yang panjang. "Nah, kalau
ucapanmu itu keluar dari lubuk hatimu, barulah benar, cucuku. Tidak benar kalau seorang menentukan
jalan hidup orang lain, apapun hubungannya dengan orang lain itu. Setiap orang manusia memiliki hak
untuk menentukan jalan hidupnya sendiri karena ia memiliki pendapat dan seleranya sendiri yang hanya
dapat ia sendiri rasakan. Apalagi dalam hal memilih jodoh! Sudahlah, sekarang mari hentikan percakapan
tentang ibumu dan mari kita berdoa saja ke hadirat Hyang Agung semoga ibumu akan memperolah
kebahagiaan di samping Raden Pringgoloyo. Dan mari kita lanjutkan tentang ilmu silat yang sedang kau
pelajari."
"Baik, Eyang," jawab pemuda itu dengan wajah berseri dan perubahan pada wajahnya ini melegakan
hati sang begawan karena menunjukkan bahwa tidak ada lagi ganjalan di dalam hati pemuda itu mengenai
urusan ibu kandungnya.
"Nah, sekarang kita lanjutkan pelajaran jurus Nogopasung. Seperti engkau ketahui dan sudah
kaupelajari dengan baik, inti dari ilmu silat aliran Hati Putih kita adalah Ilmu Silat Nogokredo. Ilmu silat
kita bersumber kepada gerakan-gerakan seekor naga. Jurus Nogopasung ini juga bersumber pada ilmu
silat Nogokredo kita, akan tetapi merupakan jurus yang khas dan amat cocok kalau dimainkan dengan
sebatang keris, terutama Nogopasung sendiri. Gerakan tadi memang sudah baik, akan tetapi kebaikan
yang kau peroleh itu hanya sampai pada kulitnya saja. Engkau belum menguasai tenaga intinya. Hanya
dengan pengerahan tenaga sakti dari dalam tubuh dengan gerakan tertentu saja yang dapat membuat
gerakanmu menjadi sempurna."
"Eyang, saya mohon eyang memberi petunjuk agar lebih mudah bagi saya untuk menangkapnya. Berilah
contoh, Eyang."
0 Response to "KEN AROK - EMPU GANDRING-9"
Posting Komentar