SEJARAH CIREBON BAG 1

Sejarah Cirebon BAG.1
Sejarah Cirebon terdapat beberapa versi yang berbeda, jadi sangat memungkinkan terjadi polemik diantara pembaca , apabila versi ini tidak sesuai dengan versi lain yang anda baca, mohon maklum adanya, apabila tidak sesuai dengan pemikiran anda, anggaplah versi ini hanya dongeng belaka....ESH
A. Kerajaan Cirebon Kuno
Kisah asal-usul Cirebon dapat ditemukan dalam historiografi tradisional yang ditulis dalam bentuk manuskrip (naskah) yang ditulis pada abad ke-18 dan ke-19. Naskah-naskah tersebut dapat dijadikan pegangan sementara sehingga sumber primer ditemukan. Di antara naskah-naskah yang memuat sejarah awal Cirebon adalah Carita Purwaka Caruban Nagari, Babad Cirebon, Sajarah Kasultanan Cirebon, Babad Walangsungsang, dan lain-lain. Yang paling menarik adalah naskah Carita Purwaka Caruban Nagari, ditulis pada tahun 1720 oleh Pangeran Aria Cirebon, Putera Sultan Kasepuhan yang pernah diangkat sebagai perantara para Bupati Priangan dengan VOC antara tahun 1706-1723.
Dalam naskah Carita Purwaka Caruban Nagari disebutkan bahwa asal mula kata ‘Cirebon’ adalah ‘sarumban’, lalu mengalami perubahan pengucapan menjadi ‘Caruban’. Kata ini mengalami proses perubahan lagi menjadi ‘Carbon’, berubah menjadi kata ‘Cerbon’, dan akhirnya menjadi kata ‘Cirebon’. Menurut sumber ini, para wali menyebut Carbon sebagai ‘Puser Bumi’, negeri yang dianggap terletak di tengah-tengah Pulau Jawa. Masyarakat setempat menyebutnya ‘Negeri Gede’. Kata ini kemudian berubah pengucapannya menjadi ‘Garage’ dan berproses lagi menjadi ‘Grage’.
Menurut P.S. Sulendraningrat, penanggung jawab sejarah Cirebon, munculnya istilah tersebut dikaitkan dengan pembuatan terasi yang dilakukan oleh Pangeran Cakrabumi alias Cakrabuana. Mengenai nama Cirebon terdapat dua pendapat. Babad setempat, seperti Nagarakertabumi (ditulis oleh Pangeran Wangsakerta), Purwaka Caruban Nagari (ditulis oleh Pangeran Arya Cerbon pada tahun 1720), dan Babad Cirebon (ditulis oleh Ki Martasiah pada akhir abad ke-17 menyebutkan bahwa kota Cirebon berasal dari kata cai dan rebon (udang kecil). Nama tersebut berkaitan dengan kegiatan para nelayan di Muara Jati, Dukuh Pasambangan, yaitu membuat terasi dari udang kecil (rebon). Adapun versi lain yang diambil dari Nagarakertabhumi menyatakan bahwa kata Cirebon adalah perkembangan kata caruban yang berasal dari istilah sarumban yang berarti pusat percampuran penduduk.
Peradaban dan kebudayaan Cirebon sesungguhnya sudah berusia 1612 tahun karena di Cirebon pernah berdiri suatu kerajaan yang tumbuh berbarengan dengan munculnya Tarumanagara, yaitu Kerajaaan Indraprahasta. Setelah itu bermunculan kerajaan-kerajaan lain seperti Kerajaan Carbon Girang, Keraton Singapura, dan Keraton Japura.
1. Kerajaan Indraprahasta
Kerajaan Indraprahasta terletak di Cirebon Girang atau Cirebon Selatan, Kabupaten Cirebon sekarang. Kerajaan tersebut didirikan pada tahun 285 Masehi oleh Maharesi Santanu sebagai negara bawahan Salakanagara, yang berkuasa di Salakanagara saat itu adalah Prabu Darmawirya Dewawarman VIII.
Kerajaan Indraprahasta didirikan oleh seorang resi dan banyak pula raja-raja penerusnya merangkap sebagai resi atau guru. Begitu pula Kerajaan Cirebon Islam, didirikan oleh ulama agung sekaligus negarawan besar begitu pun para penggantinya. Jelasnya, Cirebon sejak dahulu kalanya terbentuk oleh iklim religius yang kental dan militan karena prajurit-prajuritnya yang gagah berani dan mahir berperang sering diminta untuk membantu raja-raja lain. Orang Cirebon dikenal sebagai satu suku bangsa yang cepat tersinggung dan introvert. Dikenal juga mempunyai kecenderungan ke arah mistik dan asetik. Pada masa itu kekuasaan Islam dari segi geografis telah menjadi super state dan dari keunggulan militer telah menjadi super power. Lembaga pendidikan telah maju, jauh meninggalkan Eropa dibawah peradaban Romawi dan Yunani. Kerajaan Indraprahasta berakhir pada saat pemerintahan Pabu Wiratara yang dikalahkan Raja Sanjaya Harisdharma dari Kerajaan Mataram di Jawa Tengah.
Sang Maharesi masih mempunyai pertalian kekeluargaan dengan Sang Dewawarman VIII. Karena itu, Sang Maharesi santanu diizinkan mendirikan desa di wilayah kerajaanya. Sang Maharesi Santanu membangun sebuah desa di tepi kali Cirebon, yang diberi nama Indraprahasta. Gunung Ciremai yang berdiri di dekat daerahnya, diberi nama Indrakila dan kali Cirebon yang melewati daerahnya diberi nama Gangganadi. Di bagian alur sungai diperlebar dan diperdalam sehingga mirip danau, dinamakan penduduk setempat sebagai Setu Gangga (Danau Gangga). Di tempat itulah diadakan upacara mandi suci, seperti kebiasaan di daerah asal Sang Maharesi Santanu lembah Sungai Gangga India. Reduplikasi semacam itu merupakan suatu pengabdian untuk mengenang tanah kelahiranya. Tidak mengherankan jika orang Cirebon beranggapan bahwa Pandawa itu sebenarnya berkerajaan di Cirebon. Kerajaan Indraprahasta kemudian berkembang menjadi kerajaan besar. Gelar Abhiseka Maharesi Santanu adalah Praburesi Santanu Indraswasra Sakala Kretabuana, permaisurinya bernama Dewi Indari putri Ratu Rani Spatikarnawarmandewi dan Prabu Darmawirya. Kerajaan Indraprahasta diperkirakan berdiri tahun 285 – 747 Masehi atau 398 – 645 saka, lokasi keratonnya terletak di Desa Sarwadadi Kecamatan Sumber (sekarang). Wilayahnya meliputi Cimandung, Kerandon, Cirebon Girang di Kecamatan Talun. Resi Santanu berasal dari lembah Sungai Gangga, datang ke pulau Jawa sebagai pelarian setelah kalah perang melawan Dinasti Samudra Gupta dari kerajaan Magada.
Maharesi Santanu adalah menantu dari Dewawarman VIII Raja Salakanagara karena menikahi salah satu putrinya yaitu Dewi Indari sehingga kedudukan Indraprahasta pada saat itu menjadi bawahan dari Salakanagara. Salakanagara yang berlokasi di sekitar Pandeglang ini dinisbahkan sebagai ‘Argyre’ atau kota perak yang terdapat dalam catatan Claudius Ptolomeus, ahli geografi dari Alexandria.
Resi Santanu menikahi Dewi Indari putri bungsu Rani Spati Karnawa Warmandewi, Raja Salakanagara yang ibukota kerajaannya di Rajatapura, Pandeglang sekarang. Wilayah kerajaan Indraprahasta diperkirakan sebelah Barat Cipunegara, sebelah Timur Sungai Cipamali, sebelah Utara Laut Jawa, sebelah Selatan tidak ada catatan yang jelas. Raja-raja yang pernah berkuasa adalah sebagai berikut.
Raja Indraprahasta yang pertama adalah Prabu Maharesi Santanu Indraswara Sakala Kreta Buwana. Maharesi Santanu memerintah di Indraprahasta sebagai raja yang pertama dari tahun 285 – 320 saka atau 398 – 432 M dengan gelar Prabursi Indraswara Salakakretabuwana.
Tampuk kepemimpinan Prabu Maharesi Santanu Indraswara Sakala Kreta Buwana kemudian dilanjutkan oleh Prabu Resi Jayasatyanegara. Jayasatyanagara memerintah dari tahun 320 – 343 saka atau 432 – 454 M. Pada tahun 399 M, Jayasatyanagara harus mengakui kekuasaan Sri Maharaja Purnawarman dari Tarumanagara, nama kerajaan baru dari Salakanagara menjadi Tarumanagara yang diganti oleh Praburesi Jayasingawarman yang menikahi putri sulung Ratu Rani Spati Karnawarmandewi yang bernama Dewi Minati. Sejak ditaklukan oleh Sri Purnawarman, Indraprahasta menjadi negara bawahan Tarumanagara. Dengan demikian, Indraprahasta menjadi kerajaan bawahan Tarumanagara. Permaisurinya Permaisuri Jayasatyanagara bernama Ratna Manik puteri Sang Wisnubumi, raja Malabar, di kaki Gunung Malabar Bandung Selatan sekarang. Dari permaisurinya, Jayasatyanagara memperoleh putera bernama Wiryabanyu, sebagai penguasa Indraprahasta ketiga. Sang Wiryabanyu adalah tokoh yang menumpas pemberontakan Sang Cakrawarman di zaman pemerintahan Sri Majaraja Wisnuwarman yang terjadi di Tarumanegara.
Resi Wiryabanyu. Wiryabanyu memerintah dari tahun 343 – 366 saka atau 454 – 476 M. Permaisuri Sang Wiryabanyu berasal dari kerajaan Manukrawa (mungkin ditepi sungai Cimanuk) bernama Nilem Sari, yang kemudian memperoleh seorang puteri bernama Suklawati dan dijadikan permaisuri oleh Sri Maharaja Wisnuwarman, Raja Tarumanegara keempat. Di masa pemerintahannya, Wiryabanyu membantu Wisnuwarman putra dari Purnawarman raja Tarumanagara menumpas pemberontakan Candrawarman sehingga atas keberhasilannya, putri Wiryabanyu yaitu Suklawati diperistri oleh Wisnuwarman dan prajurit-prajurit Indraprahasta dipakai sebagai pasukan bayangkara Tarumanagara. Prabu Resi Wiryabanyu merupakan mertua dari Prabu Wisnuwarman. Prabu Wama Dewaji memerintah dari tahun 366 – 393 saka atau 476 – 503 M. Ketika di Tarumanagara terjadi huru hara perebutan kekuasaan antara Wisnuwarman pewaris tahta dan Cakrawarman adik Sri Purnawarman, Prabu Wiryabanyu turut serta menumpas pemberontakan Cakrawarman.
Prabu Raksa Hariwangsa. Raksa Hariwangsa merupakan raja Kerajaan Indraprahasta keempat yang memerintah mulai tahun 393 – 429 saka atau 503 – 538 M dengan gelar Abhiseka Prabu Raksahariwangsa Jayabhuwana. Yang menjadi permaisurinya putri dari raja Sanggarung dan memiliki putri yang bernama Dewi Rasmi. Dewi Rasmi bersuamikan Tirtamanggala putra kedua dari raja Agrabinta.
Dewi Rasmi bersama suaminya yang bergelar Prabu Tirtamanggala Darmagiriswara dinobatkan menjadi Raja Indraprahasta menggantikan Prabu Raksa Hariwangsa. Ia memiliki dua orang putra, yakni Astadewa dan Jayagranagara. Setelah Dewi rasmi, Indraprahasta dipimpin oleh Prabu Astadewa sebagai raja keenam yang mewarisi tahta Indraprahasta sejak tahun 448 – 462 saka atau 556 – 570 M dan berputra Rajaresi Padmayasa. Meskipun Astadewa memiliki putra yang bernama Rajaresi Padmayasa, namun kepemimpinan Inraprahasta diserahkan kepada Prabu Senapati Jayanagranagara. Jayagranagara yang merupakan adik Astadewa sebagai raja Indraprahasta ketujuh yang berkuasa dari tahun 462 – 468 saka atau 570 – 575 M.
Rajaresi Padmayasa merupakan putra dari Astadewa menjadi Raja Indraprahasta yang kedelapan. Masa pemerintahannya sebagai raja Indraprahasta berlangsung cukup lama, sejak tahun 468-512 saka atau 575-618 M dan berputrakan Andabuwana. Prabu Andabuwana. Andabuwana sebagai Raja Indraprahasta kesembilan juga berkuasa cukup lama, menggantikan posisi ayahnya menjadi raja Indraprahasta sejak tahun 512 – 558 saka atau 618 – 663 M.
Prabu Wisnu Murti. Wisnumurti mewarisi tahta kerajaan Indraprahasta dan memerintah mulai tahun 558 – 583 saka atau 663 – 688 M. Putri Wisnumurti yang bernama Dewi Ganggasari diperistri oleh Linggawarman, Raja Tarumanagara XII. Raja Indraprahasta selanjutnya adalah Prabu Tunggul Nagara. Tunggulnagara diangkat sebagai penerus Wisnumurti untuk menduduki jabatan raja Indraprahasta keduabelas sejak tahun 583 – 629 saka atau 688 – 732 M. pada masa itu ekspedisi-ekspedisi damai Islam sudah sampai di Asia Tenggara khususnya Indonesia dan sampai ke China. TW. Arnold mengidentifikasikan Islam masuk ke Indonesia tahun 674 M.
Prabu Resi Padma Hariwangsa. Sang Padmahariwangasa yang menjadi pendukung utama perebutan kekuasaan di Galuh yang dilakukan oleh Sang Purbasora adalah raja ke-13 Indraprahasta. Resi guru Padma Hariwangsa menjadi raja Indraprahasta menggantikan kedudukan Tunggul Nagara mulai tahun 629 – 641 saka atau 732 – 744 M. Anak-anak Padma Hariwangsa yaitu, Citrakirana yang diperistri oleh Purbasora (Sang Purbasora hanya mengulang kisah Sri Maharaja Wisnuwarman, membentuk pasukan bayangkara dari prajurit-prajurit Indraprahasta. Pasukan tersebut berada langsung dibawah komando Patih Senapati Bimaraksa.
Sang Purbasora mengadakan kesiagaan dan kewaspadaan, ia memperhitungkan kemungkinan Sang Sena yang lolos ke Jawa tengah, akan mengadakan serangan balasan, dengan mempergunakan kekuatan pasukan Bumi Mataram dan Bumi sambara. Sang Purbasora menyadari dengan merebut tahta Galuh dari Sang Sena berarti hubungan Galuh-Kalingga yang pernah dibina oleh kakeknya (Sang Wretikandayun) menjadi terputus, bahkan menjadi permusuhan. Sebenarnya yang membakar Sang Purbasora untuk merebut Tahta Galuh adalah permaisurinya Citrakirana. Permaisuri ini pula yang membujuk ayahnya, Rajaresi padmahariwangsa untuk membantu upaya suaminya menjadi penguasa galuh.
Sang Purbasora, seharusnya menjadi penguasa Indraprahasta bersama-sama isterinya yang menjadi puteri mahkota. Akan tetapi raja Indraprahasta yang sudah tua itu melihat kepentingan lain. Bila menantunya (sang Purbasora) menjadi penguasa Galuh, puteranya Sang Wiratara mempunyai peluang menjadi penguasa Indraprahasta yang ke-14. Peluang tersebut memang terjadi, Sang Wirata dinobatkan menjadi pengganti ayahnya pada tahun 719 M. Sang Sanjaya mengetahui bahwa tulang punggung yang dijadikan andalan keberhasilan gerakan Sang Purbasora ialah pasukan Kerajaan Indraprahasta. Sang Sanjaya menganggap bahwa Indraprahasta merupakan sumber petaka yang menimpa ayahnya.
Sang Sanjaya sangat menghormati ayahnya lebih-lebih setelah ia mengethui bahwa para pemuka agama seperti Rabuyut Sawai pun sangat menghormatinya. Dengan dendam membara Sang Sanjaya menggerakan pasukannya ke Indraprahasta yang terletak dilereng Gunung Ciremai Cirebon. Keamanan di Galuh untuk sementara dipercayakan kepada Patih Anggada bersama sebagian pasukan sunda yang dipimpinnya. Sang Wirata raja Indraprahasta ketika itu ikut menggempur Galuh, berperan sebagai salah seorang senopati Sang Purbasora. Ia harus menerima pembalasan dendam putera Prabu Sena. Seluruh kerajaan Indraprahasta ditundukan, termasuk keratonnya hancur lantak, seakan-akan tidak pernah ada kerajaan didaerah Cirebon Girang. Angkatan Perang, pembesar kerajaan, seluruh golongan penduduk, penghuni istana, kaum terkemuka, hamper seluruhnya binasa tanpa sisa. Hanya beberapa orang yang berhasil melarikan diri, bersembunyi dihutan, digunung, dan disungai, luput dari musuh yang tidak mengenal belas kasihan. Pada masanya Kekhalifahan Bani Umayah terus menerus mengirimkan ekspedisi-ekspedisi dagang dan dakwah ke negeri-negeri timur, yakni China dan sekitarnya termasuk ke Indonesia khususnya Sumatera dan Jawa waktu itu juga sudah terkenal. Putri Prabu Padma Hariwangsa yang bernama Citra Kirana dinikahi oleh Purbasora putra Maharesi Sempakwaja dari kerajaan Galungung.
Prabu Wiratara. Wiratara yang meneruskan tahta Indraprahasta sebagai raja yang keempat belasdan Ganggakirana yang suaminya menjadi Adipati Kusala dari kerajaan Wanagiri bawahan Indraprahasta. Wiratara yang bergelar Prabu Wiratara dan memerintah dari tahun 641 – 645 saka atau 744 – 747 M. Prabu Wirataralah yang membantu dan mensponsori Purbasora untuk merebut kekuasaan Galuh dari Prabu Sena. Sehingga pada tahun 645 saka atau 747 masehi, Sanjaya pendiri kerajaan Mataram Kuno putra dari Prabu Sena yang beribukan Sannaha menuntut balas atas kematian ayahnya. Setelah Galuh diobrak-abrik dan ditaklukan, Sanjaya memutuskan untuk menumpas juga para pendukung Purbasora terutama Indraprahasta. Pada tahun ini Indraprahasta diserbu oleh Sanjaya sehingga Indraprahasta yang didirikan sejak jaman Tarumanagara akhirnya diratakan dengan tanah seolah tidak pernah ada kerajaan di situ. Prabu Wirata Raja Indraprahasta ke-14, gugur dalam pertempuran dan seluruh anggota keluarganya binasa. Kerajaan warisan sang Maharesi Sentanu yang didirikan tahun 363 Masehi itu lenyap dari muka bumi (Indraprahasta sirna ing bhumi). Kedudukannya sebagai Darmasima (Negara mereka yang dilindungi sebagai Negara leluhur) telah berakhir. Bekas kawasan Indraprahasta oleh sang Sanjaya diserahkan kepada Adipati Kusala Raja wanagiri, menantu Sang Padmahariwangsa suami Ganggakirana. Kerajaan Wanagiri pengganti kerajaan Indraprahasta di bawah kekuasaan Kerajaan Galuh. Pada abad ke-15 Masehi kerajaan Wanagiri menjadi Kerajaan Cirebon Girang.
2. Keraton Carbon Girang
Pasca penghancuran Indraprahasta dan terbunuhnya Purbasora dan Wirata, kemudian Sanjaya mengangkat Kusala sebagai penguasa Indraprahasta dan Wanagiri dan berkedudukan di Wanagiri, ketika itu sudah menjadi bawahan Galuh. Keraton Carbon Girang cikal bakalnya berasal dari keraton Wanagiri didirikan oleh Ki Ghedeng Kasmaya, setelah runtuhnya Indraprahasta. Perubahan dari Wanagiri menjadi Carbon Girang setelah Ki Ghedeng Kasmaya memiliki anak pertama bernama Ki Ghedeng Carbon Girang hasil perkawinannya dengan Ratna Kirana Puteri Prabu Gangga Permana. Keraton Carbon Girang antara lain diperintah oleh: Ratu Dewata yang juga disebut Ki Ghedeng Kasmaya dan Ki Ghedeng Carbon Girang.
Tentang Cirebon Girang pada periode berikunya disebut-sebut memiliki kaitan dengan keturunan dari Prabu Guru Pangadiparamarta Jayadewabrata atau Sang Bunisora yang bertahta di Kerajaan Sunda-Galuh (1357 – 1371). Sang Bunisora ketika itu bertindak sebagai pengganti raja setelah kakaknya (Prabu Wangi) gugur di Palagan Bubat. Sang Bunisora dikenal pula sebagai Pandita Ratu yang memiliki sebutan tinggi keagamaan di jamannya, ia pun sangat toleran terhadap pemeluk agama lainnya, bahkan salah satu putranya, yakni Sang Bratalagawa, putera kedua Sang Bunisora yang usianya dua tahun lebih muda dari sang Mahaprabu Niskala Wastu Kancana, disebut sebut sebagai Haji Galuh Pertama dan dikenal dengan sebutan Haji Purwa Galuh.
Sang Bunisora dari permaisuri di antaranya ialah Giridewata atau Ki Gedeng Kasmaya, yang menjadi penguasa Kerajaan Cirebon Girang. Perubahan dari Wanagiri menjadi Carbon Girang setelah Ki Gedeng Kasmaya memiliki anak pertama bernama Ki Gedeng Carbon Girang hasil perkawinannya dengan Ratna Kirana Puteri Prabu Gangga Permana. Berakhirnya Keraton Carbon Girang diperkirakan tahun 1445.
Pasca Pangeran Walangsungsang diangkat menjadi Kuwu Carbon II dengan gelar Pangeran Cakrabuwana menggantikan Ki Danusela, maka pada tahun 1447, wilayah Carbon Girang disatukan di bawah kekuasaan Kuwu Carbon II. Untuk kemudian pada tahun 1454 ia diangkat oleh Raja Pajajaran (Prabu Silihwangi) untuk menjadi Tumenggung di wilayah tersebut dengan gelar Sri Mangana.
3. Keraton Caruban Larang
Caruban Larang merupakan lalu lintas perniagaan “ mancanegara” pada masanya. Awalnya sebuah desa nelayan kecil bernama Dukuh Pasambangan terletak sekitar lima Kilometer sebelah utara Kota Cirebon Sekarang, selanjutnya desa ini berkembang menjadi kota Pelabuhan yang ramai bernama Caruban Larang. Berdasarkan tutur tradisi Cirebon diyakini bahwa Caruban Larang didirikan pada 1 Muharam tahun Alip 1302 Jawa atau 1389 Masehi. Titimangsa tersebut untuk sementara ditetapkan sebagai Hari Jadi Kota Cirebon.
Muara Jati (sekarang alas konda) adalah nama pelabuhannya, di sana yaitu di puncak Gunung Amparan Jati didirikan Mercusuar oleh Laksamana Cheng Ho untuk memandu kapal-kapal yang hendak berlabuh di Muara Jati, sehingga pelabuhan Muara Jati menjadi ramai disinggahi kapal dan perahu dagang dari berbagai penjuru bumi antara lain Arab, Persi, India, Malaka, Tumasik (singapura), Paseh, Wangkang (Cina), Demak, Jawa Wetan, Madura, Palembang, maupun Bugis.
Kemenangan Raden Pamanah Rasa dalam sayembara adu jurit serta memenuhi persyaratan yang diajukan oleh Syekh Quro, maka Raden Pamanah Rasa atau Pangeran Jayadewata berhak menikahi Nyai Mas Subang Larang atau Subang Karancang. Dapat dipastikan bahwa untuk selanjutnya Nyai Subang Larang diboyong ke Keraton Galuh Surawisesa, karena pada masa itu Pamanah Rasa belum menjadi Raja Pajajaran, bahkan Ningrat Kancana ayahnya belum lagi dilantik menjadi raja di Galuh. Dari perkawinannya mereka dikarumai tiga orang anak yaitu Raden Walangsungsang yang lahir pada tahun 1423 M, Nyai Lara atau Rara Santang lahir pada tahun 1426 M, dan Raja Sengara lahir pada tahun 1428 M. Pada tahun 1441 M Nyai Subang Larang jatuh sakit hingga meninggal dunia. Semenjak kematian ibunya, ketiga kakak beradik mendapat perlakuan yang kurang menyenangkan dari saudara-saudara lain ibu (Atja 1986:32). Hal tersebut membuat gerah Raden Walangsungsang, hingga setahun kemudian (1442 M) ia keluar dari keraton melintasi hutan belantara.
Dalam tradisi masyarakat Cirebon, antara lain tercatat dalam Babad Klayan (Hadisutjipto 1989; Arismunandar dan Pudjiastuti 1996:224), digambarkan perjalanan yang dilaluinya begitu berat, tak berapa lama ia sampai di Gunung Merapi. Di situ berdiam seorang pandita penganut aliran Budhaprawa (Syiwa Buddha) yang sangat luhung bernama Sang Hyang Danuwarsih. Sang Hyang Danuwarsih adalah putra dari Sang Danusetra, pendeta agung di Pegunungan Dieng. Setelah berdiam cukup lama, Walangsungsang diberi berbagai benda pusaka (Rais 1986:18-19), serta dinikahkan dengan putri Sang Pendeta yang bernama Nyai Indang Geulis atau Nyai Indang Ayu yang diam-diam telah lama menaruh hati pada putra Prabhu Siliwangi tersebut (Rais 1986:15; Atja 1986:32).
Benda-benda pusaka yang dianugerahkan Sang Hyang Danuwarsih kepada Walangsungsang adalah sebuah cincin yang bernama Ali-ali Ampal. Cincin ini berkhasiat dapat melihat barang gaib, dapat menyimpan berbagai macam benda, serta bisa mengabulkan apa saja yang dikehendaki. Baju Kemayan, baju ini memiliki kelebihan, barangsiapa yang memakainya tak terlihat oleh orang lain. Selain itu, baju ini menjauhkan si pemakai dari maksud-maksud jahat. Di atas baju tersebut terdapat gambar kembang daun tulisan Arab berbunyi, “Barang siapa takut kepada Allah, maka Allah akan membuka jalan keluar dari kesulitan-kesulitan dan akan memberikan rezeki kepadanya yang tidak diduga-duga dan dengan tidak berjerih payah lagi”. Baju Pengabaran, memiliki khasiat, jika dipakai akan menimbulkan keberanian yang tiada terkira dalam menghadapi musuh, terlepas kuat atau lemahnya lawan, bahkan bukan hanya bangsa manusia atau hewan, bangsa jin dan setan pun akan tunduk. Pada baju tersebut tertulis, “Berbaktilah kepada Tuhanmu hingga ajalmu datang”. Baju Pengasihan, baju ini berkhasiat, siapa pun yang memakainya akan dikasihi oleh orang banyak. Tertulis di baju tersebut, “Sesungguhnya Allah suka kepada orang-orang yang takwa kepada-Nya”. (M Rais 1986:18-19).
Sementara itu, tanpa sepengetahuan orang tua, Nyai Rara Santang menyusul kakandanya. Setelah sekian lama ia berjalan tanpa memperdulikan keselamatan jiwa dan raganya, tibalah ia di Gunung Tangkuban Perahu. Di tempat itu ia bertemu dengan Nyai Indang Sukati. Kepada wanita tua itu, ia menceritakan maksud dan tujuan perjalanannya. Nyai Indang Sukati memberi petunjuk agar hal tersebut ditanyakan kepada Ki Ajar Sakti di Argaliwung. Sebelum Nyai Rara Santang melanjutkan perjalanan, Nyai Indang Sukati memberinya sebuah baju azimat bernama Baju Hawa Mulia. Baju Hawa Mulia ini memiliki kekuatan: pemakainya dapat melayang di atas tanah, berjalan di atas air, dan tak terbakar api (Rais 1986:16). Tiada berapa lama, ia bertemu dengan Ki Ajar Sakti yang memberikan petunjuk jika ingin menemukan Raden Walangsungsang hendaklah ia menuju arah timur-selatan, ia akan menemukan Sang Kakak di Gunung Merapi.
Tanpa terasa tibalah Nyai Rara Santang di tempat yang dituju, tempat kakaknya berada, kedatangannya diterima dengan baik oleh Raden Walangsungsang, Sang Hyang Danuwarsih memberi saran agar untuk sementara tinggal di situ. Selanjutnya Sang Hyang Danuwarsih menyarankan agar ke dua putra-putri Prabhu Siliwangi untuk meminta petunjuk kepada Sang Hyang Nago di Gunung Kumbang. Maka berangkatlah kedua kakak-beradik ke Gunung Ciangkup disertai istri Pangeran Walangsungsang, Nyai Indang Geulis.
Setibanya mereka di Gunung Ciangkup, mereka bertemu dengan Sang Hyang Nago. Kepadanya Pangeran Walangsungsang menuturkan seluruh maksud dan tujuan. Sang Hyang Nago mendengar penjelasan tersebut, lalu menerangkan bahwa jika ingin mencari perihal agama Islam hendaknya bertanya kepada Sang Hyang Nago di Gunung Kumbang. Sebelum tiga orang tersebut pergi, Sang Hyang Nago memberikan berbagai ilmu, serta mewariskan sebuah senjata pusaka yang bernama Golok Cabang. Konon, golok cabang ini dapat terbang dan berbicara layaknya manusia (ngucap tata jalma). Ilmu yang diberikan Sang Hyang Nago kepada Walangsungsang terdiri dari: Ilmu Kadewan, yaitu kemampuan dapat memperteguh keyakinan seseorang dalam beragama. Ilmu Kapik’san, yaitu ilmu yang dapat menimbulkan wibawa yang besar, serta pemiliknya akan dikasihi segenap makhluk. Ilmu Keteguhan, yakni ilmu yang membuat pemiliknya kebal, kuat, dan perkasa. Ilmu Pengikutan, yaitu ilmu yang dapat mempengaruhi seluruh makhluk. Sedangkan senjata pusaka yang bernama Golok Cabang, memiliki kekuatan apabila ia ditebaskan ke arah singa, maka singa itu akan hancur lebur. Begitu juga gunung, laut, dan hutan atau apa pun yang terkena Golok Cabang akan binasa (Rais 1986:20).
Sesuai petunjuk Sang Hyang Nago, berangkatlah mereka bertiga ke Gunung Kumbang. Sesampainya mereka di sana, Raden Walangsungsang menyampaikan apa yang menjadi maksud dan tujuan meraka bertiga kepada Sang Hyang Nago. Namun, seperti yang sudah-sudah, keinginan mereka untuk memperdalam agama Islam tak bisa terlaksana. Sang Hyang Nago hanya memberi pentunjuk agar mereka melanjutkan perjalanan ke Gunung Cangak dan menemui Ratu Bangau, ia pun tak lupa membekali Walangsungsang dengan berbagai ilmu dan benda pusaka. Ratu Bangau tinggal di satu pohon yang tingginya 500 m yang setiap dahan dan rantingnya dipenuhi oleh ribuan bangau. Terjadi sedikit perlawanan dari Ratu Bangau, namun oleh Walangsungsang akhirnya Ratu Bangau dapat ditaklukan (Rais 1986:11-20). Peristiwa perjumpaan Walangsungsang dengan Ratu Bangau diabadikan dalam lagu Cingcing Duwur, Kajongan, Pari Anom, Rambu Gede, Rambu Cilik, dan Bango Butak atau Rara Butak.
Lagu-lagu tersebut merupakan bagian dari tujuh lagu yang biasa dimainkan dengan Gamelan Sekaten dan diperdengarkan setiap bulan Maulud pada saat upacara panjang jimat. Menurut Raden Sangkaningrat (bagian seni gamelan Keraton Kanoman), ada enam lagu yang dimainkan menjelang upacara Panjang Jimat, dan merupakan lagu-lagu perjuangan yang menggambarkan perjuangan prajurit-prajurit Cirebon menghadapi Ratu Bangau yang belum mau masuk Islam dari Gunung Cangak atau Gunung Srandil. Lagu-lagu itu terdiri dari: Lagu Sekaten, lagu ini menempati urutan pertama dalam rangkaian lagu-lagu Sekatenan, karena Sekaten berasal dari kata ‘syahadatain’. Durasi lagu ini mencapai 1 jam. Jumlah pukulan gong besar harus tepat 100 kali, yang bermakna jumlah dzikir 100 kali. Lagu Cingcing Duwur, lagu ini mengingatkan pada para pendengarnya, bahwa peristiwa tersebut berlangsung di atas tanah yang becek, sehingga memaksa para prajurit mengangkat (nyingcing) kainnya tinggi-tinggi (duwur). Lagu Kajongan, Kajongan artinya melompat, diceritakan kondisi tanah yang becek serta banyak terdapat saluran air, mengakibatkan para prajurit berjalan melompat-lompat. Lagu Pari Anom. Pari Anom artinya padi muda, kala peristiwa itu terjadi sebagian sawah di sekitar tempat itu sudah mulai berbuah. Lagu Rambu Gede dan Rambu Cilik. Ke dua lagu ini mengisahkan waktu Ratu Bangau tertangkap, prajurit Cirebon mengerubutinya ramai-ramai. Sebagian dari mereka mencengkramnya, dengan cengkraman besar ataupun kecil. Lagu Bangau Butak atau Rara Butak. Lagu ini diilhami dari kejadian setelah kekalahan Ratu Bangau, ia tertangkap dengan rambut terjambak. Jambakan itu mungkin demikian kerasnya hingga ia merasa kesakitan (rara), bahkan akibat Jambakan itu kepala Ratu Bangau menjadi botak. Lagu ini mendapat tempat khusus dalam penyajiannya. Ia muncul lima kali dari seminggu, selama penyajian lagu-lagu Sekatenan. Adapun rincian waktunya sebagai berikut: Pertama, pukul 21.00 pada hari pertama. Kedua, pukul 24.00 hari pertama. Ketiga, pada tanggal 11 Maulud malam 12 Maulud, pukul 21.00 tepat di saat keluarnya rombongan panjang jimat dari pintu Si Blawong. Keempat, pukul 24.00 pada malam yang sama. Kelima, pada hari penutupan tanggal 12 Maulud sore hari pukul 16.00).
Setelah Ratu Bangau mengaku takluk, ia pun memberi petunjuk yang diharapkan Walangsungsang, bahwa apabila ia ingin mencari agama Islam, pergilah menuju ke Gunung Jati. Selain dari itu ia pun membekali dengan benda-benda pusaka (Rais 1986:21-22). Adapun pusaka-pusaka yang diberikan oleh Ratu Bangau adalah Panjang Zimat, Pendil Sewu, dan Bareng. Setelah sekitar tiga tahun belajar pada Syekh Datul Kafi di daerah Amparan Jati, Raden Walangsungsang bersama isteri dan adiknya, Nyai Lara Santang dianggap telah selesai mempelajari agama Islam. Oleh gurunya Raden Walangsungsang diberi nama Ki Somadullah. Mereka kemudian dianjurkan untuk mendirikan pedukuhan di Kebon Pesisir (sekarang Lemahwungkuk) yang pada waktu itu disebut dengan Tegal Alang-alang. Pedukuhan tersebut dipimpin oleh Ki Gedeng Danusela yang bergelar Ki Gedeng Alang-alang.
Sekitar lima tahun kemudian, datanglah Ki Somadullah atau Raden Walangsungsang dari puncak Amparan Jati bersama istri, dan adik perempuannya. Setibanya di Kebon Pesisir, ia kemudian diberi gelar Pangeran Cakrabuwana. Dikisahkan, bila malam dua pasangan suami istri, yakni Ki Gedeng Alang-alang beserta istri dan Ki Somadullah beserta istri, bekerja mencari rebon (udang kecil) dan ikan di sungai yang ada di sebelah timur rumahnya dan di pinggir pantai. Rebon dan ikan itu dipakai sebagai bahan untuk membuat terasi dan petis. Konon, terasi dan petis yang dihasilkan Ki Somadullah dikenal enak, dan semakin hari pembeli yang datang ke Dukuh Lemah Wungkuk untuk membeli barang itu bertambah banyak. Para pendatang bukan hanya dari daerah sekitar seperti Desa Pesambangan dan Muarajati, tetapi juga dari wilayah Sunda, bahkan dari negeri Arab dan Cina. Lama kelamaan mereka tidak sekedar membeli terasi dan petis, tetapi menetap di daerah ini; dan bahkan para pendatang ini ikut membuat terasi dan petis. Pada akhirnya, Dukuh Lemah Wungkuk sejak tanggal 14 paro-peteng bulan cetra 1367 Saka (1445/1446 M), disebut Dukuh Carbon, yang berasal dari kata ‘cai’ dan ‘rebon’.
Dari cerita yang beredar di masyarakat, disebutkan Ki Gedeng Alang-alang terpilih menjadi Kuwu Caruban yang pertama, sedangkan Ki Somadullah menjadi Pangraksabumi (wakil kuwu) dengan gelar Ki Cakrabumi. Pada tahun 1450 M Ki Somadullah mengerahkan orang-orang untuk bersama-sama mendirikan tajug (musholla) di daerah Jelagrahan dan membuat gubuk di sekitarnya. Pendirian tajug dan dibukanya perkampungan (sekarang menjadi Keraton Kanoman) tersebut merupakan salah satu tanda perkembangan Islam di Cirebon. Perkampungan ini pada saatnya menjadi cikal-bakal bagi kota Cirebon.
Sejak saat itu Pangeran Walangsungsang giat menyiarkan agama Islam di sekitar daerah Cirebon, sedangkan untuk daerah di luar Cirebon masih belum terjamah. Hal itu, disebabkan pada waktu itu Cirebon masih berada di bawah kekuasaan Kerajaan Sunda, yang hampir sebagian masyarakatnya masih beragama Hindu dan Budha. la mendiami rumah dekat tajug Jelagrahan sambil mengajar agama Islam kepada penduduk. Dengan meningkatnya jumlah penduduk Cirebon serta semakin banyaknya kaum muslimin dari luar Ckebon yang ingin memperdalam agama Islam, kondisi Jalagrahan tidak dapat lagi menampung umat Islam dalam menjalankan berbagai kegiatan keagamaan di Cirebon, ttiaka perlu didirikan masjid baru dengan ukuran yang lebih besar. Untuk itulah dibangunlah masjid baru yang dinamakan Masjid Agung Ciptarasa. Masjid ini merupakan masjid resmi Kesultanan Cirebon. Menurut keterangan, masjid ini didirikan oleh Wali Sanga dan pembangunannya dipimpin oleh ahli bangunan dari Majapahit yang bernama Raden Sepat. Salah satu tiang masjid ini disebut “Saka Tatal” karena terbuat dari susunan ‘tatal’ (potongan-potongan kayu).
Ketika Ki Gedeng Alang-alang meninggal, atas persetujuan rakyat setempat, Ki Somadullah diangkat menjadi Kuwu Dukuh Lemah Wungkuk menggantikan mertuanya dengan gelar Pangeran Cakrabuana. Beliau menjalankan industri rumah tangga yaitu membuat terasi dan petis. Pada saat Ki Somadullah menjabat sebagai Kuwu Caruban II keadaan daerah ini semakin ramai. Selanjutnya oleh Pangeran Cakrabuana, Caruban ditingkatkan menjadi sebuah negeri dengan sebutan Caruban Larang. la juga membentuk laskar yang mengawal keamanan wilayah dengan segala kelengkapannya. Setelah mengambil harta peninggalan Ki Gedeng Tapa dari Kerajaan Singapura (± 4 km, sebelah utara makam Sunan Gunung Jati), Pangeran Cakrabuana mendirikan bangunan baru berupa istana yang diberi nama Keraton Pakungwati pada tahun 1452 M. Dengan dibangunnya Keraton Pakungwati ini, menandakan bahwa Cirebon sudah mulai berfungsi sebagai pusat pemerintahan lokal.
Menjelang timbulnya kekuasaan politik Islam Cirebon, kedudukan Ckebon masih berada di bawah Tohaan di Galuh (1475-1482). Baru setelah itu, Cirebon dipegang oleh Sunan Gunung Jati dan dapat melepaskan diri dari kekuasaan Kerajaan Galuh Sunda Pakuan Pajajaran yang pada waktu itu rajanya adalah Sang Ratu Jayadewata atau Sri Baduga Maharaja atau lebih dikenal dengan sebutan Prabhu Siliwangi (1482-1521). Mulai saat itu, Ckebon merupakan sebuah Kerajaan Islam yang berdaulat dan tidak lagi di bawah kekuasaan manapun. Pada saat ini, Ckebon sudah melepaskan diri dari kekuasaan Kerajaan Sunda.
Eksistensi Cirebon yang semakin kuat dengan berkembangnya agama Islam pada akhirnya berbenturan dengan kedaulatan Kerajaan Galuh. Satu demi satu daerah kekuasaan Galuh seperti Palimanan, Cangkuang, Luragung (Kuningan), Rajagaluh dan Talaga (Majalengka), dan Cimanuk (Indramayu) ditaklukkan oleh Kerajaan Islam Cirebon.
bersambung.....


Tunjuk

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "SEJARAH CIREBON BAG 1"

Posting Komentar